Fenomena yang terjadi pada peradaban manusia jaman dahulu kala adalah kebiasaan menggambar pemandangan alam yang di dalamnya tergambar 2 gunung dan di antara kedua gunung tersebut terdapat matahari terbit. Gambar yang demikian sangat populer di kala itu, sehingga hampir setiap siswa menggambar yang demikian ketika ada pelajaran menggambar. Hal ini menujukan kemonotonan yang terjadi di kalangan siswa. Hal demikian tentu dapat mematikan kreativitas siswa dalam berkarya. Jika dibiarkan saja maka kebiasaan menggambar yang demikian akan menjadi budaya yang turun temurun, sehingga bukan tidak mungkin setiap gambar pemandangan akan serupa satu dengan yang lainnya.
Berangkat dari hal tersebut orang yunani memikirkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita memerlukan abstraksi dan idealisasi sehingga nantinya dapat memunculkan suatu bukti, begitu pula dalam mempelajari matematika. Sedangkan bangsa transenden memikirkan apakah sesuatu bersifat tetap ataukah berubah. Sesuatu dikatakan tetap (permenides) karena ada di dalam pikiran manusia, sedangkan sedangkan referensi dari yang berubah (heraklitos) adalah fenomena, sehingga akhirnya tidak bias dipikirkan lagi dan menjadi noumena.
Fondamen yang dapat kita gunakan dalam memikirkan matematika adalah sistem, struktur, dan bangunan yang sudah ada dalam matematika. Jika dalam memikirkan matematika kita menentukan adanya awal maka kita termasuk dalam golongan kaum fondametalis, sedangkan jika kita dalam memikirkan matematika kita tidak menentukan adanya awal maka kita termasuk dalam golongan kaum intuitionism.
Matematika yang tunggal, dualis, multi, dan pluralis perlu dibedakan apakah absolut/tunggal sehingga dalam memikirkannya kita perlu berpikir ekstensif dan intensif.
Pada filsafat matematika kita menggunakan ontology, epistemology, dan aksiologi dalam memikirkannya, sehingga muncullah pemikiran matematika dengan meletakan dasar fondamentalis, formalis, aksiomatis (hilbert) dengan sifat rigor/apodictic, konsisten, tunggal, dan pasti. Matematika yang demikian itu semuanya dalam ranah pikiran manusia dan terbebas oleh ruang dan waktu. Dalam filsafat matematika ada sifat identitas, absolute, konsisten, tunggal, dan koheren (kebenaran berdasarkan logika). Tulang punggung dari matematika adalah matematikawan dari pure mathematics. Sehingga dari fenomena UN perlu adanya sos, seperti munculnya surat terbuka untuk presiden.
Di sisi lain dalam filsafat pendidikan matematika fenomena-fenomena yang terjadi pada jaman dahulu kala masih sering terjadi. Pada filsafat pendidikan matematika kita terikat oleh ruang dan waktu, serta adnya sifat kontradiktif, relative, plural, dan korespodensi (kebenaran berdasarkan kenyataan). Tulang punggung dari pendidikan matematika adalah kaum educationist. Yang ada di sini adalah kaum sosio contuctivist dan munculah pemikiran bahwa diperlukannya revolusi pendidikan.
Dari sisi relaistik RME mengungkap dimensi matematika dari bawah ke atas adalah benda konkret, skema, model, dan abstraksi/formal. Siswa SD/SMP berada pada dimensi benda konkret sehingga dalam memikirkan matematika mereka masih memerlukan benda konkret. Siswa SMP ada pada dimensi model, sedangkan mahasiswa berada pada dimensi abstrak/formal akan tetapi mahasiswa juga masih memerlukan benda konkret namun hanya sebagai perlengkapan.
Dari sisi hakikat, dalam memikirkan matematika kita harus meletakkan kesadaran kita di depan matematika. Contohnya saja adalah hakikat bilangan 2. Di dalam matematika bilangan 2 tidak punya arti apa-apa tetapi di dalam hakikat bilangan 2 mempunyai makna bukankah orang tua kita ada 2? Bukankah telinga kita ada 2? Di sini kita dapat menemukan hakikat bilangan 2, begitu juga dengan bilangan 3, bukankah becak rodanya 3? Lalu bagaiman dengan 2+3? Apakah ada maknanya? Dari sini akan muncul konsep membilang dan menghitung. Bilangan 2 dan bilangan 3 adalah potensi, 2+3 adalah proses, sedangkan 2+3=5 adalah hasil. Di sini menjumlahkan dipandang sebagai proses, sedangkan hasilnya adalah jumlah. Contoh yang lain adalah diferensial dan derivative, diferensial dipandang sebagai proses, sedangkan derivative sebagai hasilnya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa matematika dapat dipandang sebagai fakta/potensi proses atau hasil, atau juga sebagai proses dan hasil.
Dari sisi pelakunya, kita dapat memikirkan matematika dengan cara vertical atau horizontal melalui benda, symbol, dan variabel. Contohnya dalam mempelajari benda runag menurut ilmu jiwa Gestalt kita harus mempelajari secara umum dulu baru kemudian mempelajari secara detailnya. Dalam pembelajaran kita mempelajari skema kognisinya. Berkaitan dengan skema kognisi maka alat peraga adalah abstraknya.
Rabu, 27 April 2011
Senin, 11 April 2011
FILSAFAT ADALAH PENJELASAN
(Refleksi perkuliahan filsafat dengan Bp. Marsigit)
Untuk menerjemahkan bumi seseorang perlu melakukan abstraksi, hal ini dikarenakan bumi bumi bergerak terhadap ruang dan waktu. Salah satu contoh hasil abstraksi tersebut adalah suatu titik. Jika ada suatu titik di pikiran kita maka titik adalah suatu objek pikiran. Tetapi, titik juga bisa berada di luar pikiran.
Jika dikaitkan dengan ruang dan waktu maka titik dapat menjadi potensi sekaligus fakta. Contohnya, sebuah titik dapat menjadi garis. Dalam hal ini maka titik adalah sebagai fakta, sedangkan garis adalah potensinya.
Jika diberi kesadaran maka titik akan memiliki makna. Contohnya, sebuah titik dapat mewakili bumi.
Jika diabstraksikan maka sebuah titik dapat menjadi bangun datar, garis, bola lingkaran, dan sebagainya.
Titik dapat menjadi spiral yang di dalamnya adalah dunia. Untuk dapat diterjemahkan, maka digunakan analogi menjadi bumi yang mengelilingi matahari. Tetapi ternyata itu semua masih ada di dalam pikiranku, maka dari sini kita tahu bahwa pikiran adalah separuh dunia, dan kenyataan adalah separuh dunia yang lain.
Di dalam pikiran kita kehidupan masyarakat dapat digambarkan menjadi suatu kurva normal. Pada kurva normal tersebut ada batas toleransi atau tanda keputusan. Sedangkan dalam kenyataannya masyarakat yang berada di daerah x=1 adalh orang yang bahagia hidupnya, sedangkan orang yang berada di sebelah kiri atau sebelah kanan batas toleransi adalah orang-orang yang bermasalah. Sehingga menurut orang jawa, orang orang yang bermasalah tersebut harus diruwat. Ruwatan yang bias dilakukan adalah seperti “nanggap wayang” dan “slametan”. Karena adanya anggapan seperti itu maka orang jawa cenderung mengikuti hal-hal yang umum dilakukan oleh orang lain.
Kejadian-kejadian seperti ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang memerlukan penjelasan. Di sini lah filsafat berperan utnuk member penjelasan, atau dengan kata lein filsafat menjelaskan hal-hal yang dianggap memerlukan penjelasan. Begitu juga dengan ruwatan, filsafat mampu menjelaskan tentang ruwatan.
Contoh kasus di sini adalah kebiasaan orang tua yang melarang anaknya berdiri atau duduk di depan pintu tanpa memberi alasan yang jelas. Kalaupun diberi penjelasan, alasannya kadang tidak masuk akal dan bahkan dianggap tidak logis. Hal ini juga perlu penjelasan, maka melalui berfikir intensif dan ekstensif maka filsafat di sini sangat dibuhkan untuk menjelaskan hal tersebut. Di sini pula filsafat berperan untuk mengubah mitos menjadi logos. Sehingga I.Kant membagi kategori pikiran menjadi 4 yaitu kualitatif, kuantitatif, relasi dan kategori. Kategori-kategori tersebut adalah bekal kita untuk memperoleh suatu pengetahuan dan sekaligus dalam berfilsafat.
Untuk menerjemahkan bumi seseorang perlu melakukan abstraksi, hal ini dikarenakan bumi bumi bergerak terhadap ruang dan waktu. Salah satu contoh hasil abstraksi tersebut adalah suatu titik. Jika ada suatu titik di pikiran kita maka titik adalah suatu objek pikiran. Tetapi, titik juga bisa berada di luar pikiran.
Jika dikaitkan dengan ruang dan waktu maka titik dapat menjadi potensi sekaligus fakta. Contohnya, sebuah titik dapat menjadi garis. Dalam hal ini maka titik adalah sebagai fakta, sedangkan garis adalah potensinya.
Jika diberi kesadaran maka titik akan memiliki makna. Contohnya, sebuah titik dapat mewakili bumi.
Jika diabstraksikan maka sebuah titik dapat menjadi bangun datar, garis, bola lingkaran, dan sebagainya.
Titik dapat menjadi spiral yang di dalamnya adalah dunia. Untuk dapat diterjemahkan, maka digunakan analogi menjadi bumi yang mengelilingi matahari. Tetapi ternyata itu semua masih ada di dalam pikiranku, maka dari sini kita tahu bahwa pikiran adalah separuh dunia, dan kenyataan adalah separuh dunia yang lain.
Di dalam pikiran kita kehidupan masyarakat dapat digambarkan menjadi suatu kurva normal. Pada kurva normal tersebut ada batas toleransi atau tanda keputusan. Sedangkan dalam kenyataannya masyarakat yang berada di daerah x=1 adalh orang yang bahagia hidupnya, sedangkan orang yang berada di sebelah kiri atau sebelah kanan batas toleransi adalah orang-orang yang bermasalah. Sehingga menurut orang jawa, orang orang yang bermasalah tersebut harus diruwat. Ruwatan yang bias dilakukan adalah seperti “nanggap wayang” dan “slametan”. Karena adanya anggapan seperti itu maka orang jawa cenderung mengikuti hal-hal yang umum dilakukan oleh orang lain.
Kejadian-kejadian seperti ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang memerlukan penjelasan. Di sini lah filsafat berperan utnuk member penjelasan, atau dengan kata lein filsafat menjelaskan hal-hal yang dianggap memerlukan penjelasan. Begitu juga dengan ruwatan, filsafat mampu menjelaskan tentang ruwatan.
Contoh kasus di sini adalah kebiasaan orang tua yang melarang anaknya berdiri atau duduk di depan pintu tanpa memberi alasan yang jelas. Kalaupun diberi penjelasan, alasannya kadang tidak masuk akal dan bahkan dianggap tidak logis. Hal ini juga perlu penjelasan, maka melalui berfikir intensif dan ekstensif maka filsafat di sini sangat dibuhkan untuk menjelaskan hal tersebut. Di sini pula filsafat berperan untuk mengubah mitos menjadi logos. Sehingga I.Kant membagi kategori pikiran menjadi 4 yaitu kualitatif, kuantitatif, relasi dan kategori. Kategori-kategori tersebut adalah bekal kita untuk memperoleh suatu pengetahuan dan sekaligus dalam berfilsafat.
Langganan:
Komentar (Atom)