Jumat, 03 Juni 2011

Refleksi Perkuliahan Terakhir Filsafat Pendidikan Matematika

Ada alasan kenapa di dalam elegi-eleginya Bp.Marsigit tidak menyebut gelar. Sebagai contohnya dia tidak pernah memanggil Almarhum Plato, atau Profesor Aristoteles, atau Doktor Rene Descartes, atau yang saya Hormati dan saya Berbakti Tuan David Hume, atau yang saya Patuhi Tuan Immanuel Kant. Melainkan dia cukup memanggilnya sebagai menurut Plato, atau pendapat Aristoteles, atau bantahan Rene Descartes, atau menurut David Hume atau Teori Immanuel Kant, begitu saja. Padahal mereka adalah para filsuf yang memiliki gelar dan tentunya menjadi inspirasi bagi dunia saat ini. Alasannya adalah karena para filsuf itu sendiri adalah filsafat, dan mereka bukanlah orang yang asing lagi bagi dunia, sehingga ketika ada orang yang membaca elegi-elegi tersebut orang tersebut sudah langsung paham, siapa tokoh yang dimaksud.

Bp.Marsigit juga menyampikan tentang kelancangan filsafatnya seperti yang ada di dalam eleginya. Lancang yang dimaksud adalah berani mengatakan benar dengan benar dan salah dengan salah. Contohnya ketika munculnya surat terbuka kepada presiden, beliau menyampaikan secara lugas pendapat dan kritikannya. Walaupun beliau tahu resiko yang harus ditanggung, mungkin pihak pemerintah menjadi tidak menyukainya. Tetapi buat apa berfilsafat kalau tidak untuk memikirkan hal yang penting terutama di dunia pendidikan, buat apa berfilsafat kalau tidak dapat berbicara, buat apa brfilsafat kalau tidak mampu berpikir kritis. Tentunya dalam berfilsafatpun kita harus tahu siapa lawan bicara kita, ketika berbicara tentang hakikat dengan orang yang dimensinya di bawah kita maka kita dapat dianggap tidak sopan, tetapi jika kita berbicara hakikat dengan orang yang dimensinya di atas kita maka bisa saja kita dianggap lancang. Oleh karena itu Bp Marsigit memohon maaf atas kelancangan filsafatnya.

Di dalam elegi-eleginya juga dibahas tentang kemarahan karena berfilsafat. Secara tersirat di dalamnya menyampaikan bahwa filsafatnya menyebabkan kemarahan karena tidak mampu menempatkan diri. Jika dimana-mana berfilsafat, tentunya dapat menimbulkan kemarahan, karena seharusnya dalam berfilsafat kita mampu menempatkan diri, mampu menentukan dimana saatnya kita berfilsafat, mempu menentukan pada siapa kita berbicara filsafat. Jika pada semua orang kita berfilsafat tentu kita bisa menyebabkan kemarahan orang lain bahkan bisa dianggap kurang waras. Sehingga dapat berfilsafat kita harus menempatkan diri.

Berkaitan dengan arogansi dalam berfilsafat, dapat dipahami ketika kita berfilsafat tetapi tidak sesuai dengan porsinya maka di sanalah titik kesombongan/arogansi kita. Sehingga agar kita dapat berfilsafat sesuai dengan posinya maka kita harus melakukan perjuangan. Dalam melakukan perjuanganpun pasti ada dampak dan resikonya, sehingga kita perlu mengelola resiko, harapan, dan tantangan kita dalam berfilsafat dengan baik. Kita dapat mengelolanya secara psikologi.

Berfilsafat itu berpikir kritis, ketika kita mampu berpikir kritisa maka kita mampu memikirkan hal-hal secara lebih dalam (berpikir intensif). Sehingga ketika kita memikirkan tentang Standar Isi dalam kurikulum kita, timbulah rasa tidak nyaman, bahkan dengan istilah “standar isi” saja sudah tidak nyaman karena seolah-olah itu adalah produk yang bersifat statis. Padahal objek matematika itu dinamis, lalu bagaimana jika standar isinya saja bersifat statis? Tentu saja tidak cocok, bagaimana matematika bisa berkembang jika dalam pembelajarannya saja sudah dibatasi oleh standar isi? Ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan baik bagi siswa maupun bagi matematika itu sendiri karena Standar Isi tidak sesuai dengan hakikat matematika sekolah dan psikologi belajar siswa. Sehingga akan lebih nyaman dengan “Trajectory of teaching learning mathematics” dan “Strength of mathematics education ”, karena di sana sangat menjunjung hakikat matematika sekolah dan psikologi belajar siswa dan bersifat dinamis sesuai dengan objek matematika.

Dalam belajar filsafat kita akan mengenal transformasi dunia. Transformasi dunia dapat dilakukan sesuai dengan dimensi komunikasi yaitu material, formal, normatif, dan spiritual. Pada dimensi material kita akan tahu kalau manusia selalu mengalami tetap dan berubah. Apa bisa kita tidak mengalami gerakan apapun ? Jelas tidak bisa, itulah yang kita maksud dengan berubah. Dari lahir sampai sekarang saya tetaplah manusia, itulah yang dimaksud dengan tetap. Begitu juga manusia bergerak-gerak antara pelit dan bermawan, kaya dan miskin. Kaya bisa kita sebutkan bahwa banyak uang tetapi tidak punya program, sedangkan miskin dapat kita sebutkan sedikit uang tetapi banyak program.

Manusia juga selalu mengalami gelombang naik turun dalam kehidupan. Contohnya saja dalam beribadah. Suatu saat kita akan berada pada tingkatan atas dimana kita sangat rajin dan khusukdalam beribadah tetapi juga suatau saat kita mengalami penurunan dalam beribadah, shalat hanya sekedar kebiasaan saja, ibadah sunah yang lain tidak dilaksanakan, dan sebagainya. Naik turun kehidupan seseorang berubah-ubah tergantung lingkungannya. Teman bermain, tingkat pendidikan, keadaan social, itu juga berpengaruh terhadap naik turun kehidupan manusia.

Penerapannya dalam matematika, adalah misalnya kita menulis persamaan ax2 + bx + c = 0 maka di sini ada intuisi dua dalam satu, artinya ketika kita menulis bx maka kita lebih mementingkan bx tetapi kita masih mengingat ax2. Ketika menulis c kita fokus ke c tetapi tetap menginga ax2+bx. Begitu pula saat kita menulis = 0 kita akan mengingat ax2 + bx + c. di sini tampak bahwa ada sesuatu yang berjalan. Tentunya ini hanya konsumsi orang dewasa saja. Seperti halnya dengan A/~=0. Tak hingga maksudnya memohon maaf terus menerus kepada Allah SWT. Permohonan terus menerus tentunya belum cukup sehingga harus ikhlas, diibaratkan dengan x=1. Keikhlasan kita diibaratkan dengan 0 sedangkan keesaan Tuhan diibaratkan dengan 1. Akan tetapi hal ini kalau berlebihan berbahaya , apalagi kalau mempunyai pengikutdan menjadi mitos lalu dibukukan, maka orang dapat menganggapnya sebagai kitab suci. Sehingga kita perlu memperhatika jarak antara pikiran dengan hati, normative dengan spiritual.

Selain itu kita dapat melihat dari benda ruang, ini hubungannya dengan idealisme dan abstraksi. Untuk mengembangkan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika semua ada filsafatnya. Kegiatan seperti menyusun RPP, LKS, metode pembelajaran, dan sebagainya semua ada filsafatnya. Sehingga kembali pada diri kita masing-masing seberapa jauh mampu mengembangkan perspektif filsafat untuk pembelajaran matematika.

Dalam pembelajaran matematika, siswa adalah yang ada, siswa yang mengada, dan siswa sebagai pengada. Sehingga siswa belajar matematika adalah sebagai seprang researcher atau peneliti matematika. Siswa sebagai subjek bisa mentrasformasi dunia, sontohnya siswa dapat mengerjakan mengerjakan soal satu ke soal yang lain, dari rumus satu ke rumus yang lain. Paradigma yang menunjang adalah kontruktivis dimana siswa dapat mengembangkan sendiri matematatikanya, dan diperolehlah siswa adalah matematika. Sehingga kita dapat menemukan bahwa setinggi-setinggi filsafat belajar matematika adalah jika sampai pada keadaan dimana pada akhirnya siswa itu sendirilah matematika.

Rabu, 25 Mei 2011

TANYA JAWAB FILSAFAT ( Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika dengan Bp. Marsigit )

Di dalam ontologi kita mengenal berpikir intensif dan ekstensif, sedang di dalam epistemologi ada benar, ada salah, dan di dalam aksiologi ada baik, tak baik, etik, tak etik, dan sebagainya. Jika kita pahami maka di antara ketiganya itu ada vital, fatal, subjektif, objektif, subjek, predikat, bejo, cilaka, logos, mitos, yang akan datang, sekarang, dan yang lalu. Semua itu akan membentuk dimensi. Jika sampai n dimensi maka di antara kutub-kutubnya akan terjadi interaksi. Contohnya interaksi antara filsafat, filsafat pendidikan matematika sampai pada penerapannya.

Berikut adalah refleksi hasil tanya jawab antar mahasiswa PMAT UNY dengan Bp. Marsigit pada perkuliahan filsafat pendidikan matematika terkait hal di atas :

Mahasiswa A : Seberapa besar pengaruh masa lalu terhadap masa depan?
Jika dari sisi sejarah maka kita dapat mengatakan bahwa masa lalu berpengaruh 100% terhadap masa depan. Sedangkan kaum fondamentalis berpendapat bahwa tidak ada salahnya kita belajar dan berusaha mulai dari sekarang, tidak ada kata terlambat jika kita mau berusaha. Maka sebaiknya kita berusaha melakukan apa yang bisa kita lakukan saat ini sebaik mungkin sehingga tidak ada penyesalan di esok hari, karena kita akan melihat bahwa apa yang sudah kita lakukan adalah yang terbaik.

Mahasiswa B : Bagaimana membedakan vital dan fatal?
Vital dan fatal tidak untuk dibedakan tapi untuk dimengerti, dilaksanakan, dan dijalani sehingga pada akhirnya aku dapat mengerti bahwa ternyata setiap hal dalam diriku ada unsur fatal dan vital.

Mahasiswa C : Bagaimana mengetahui keselarasan saya dengan alam?
Alam yang aku alami adalah duniaku, sehingga aku tidak dapat memikirkan apa yang dialami orang Eskimo. Begitu juga jika apa yang terjadi padaku ku ceritakan pada orang lain maka hanya sebatas logika saja. Mereka tidak dapat mengetahui apa yang aku rasakan saat itu. Mereka hanya dapat memikirkan tetapi tidak dapat merasakan. Interaksi yang terjadi antara pikiran kita dengan alam adalah melalui komunikasi dari komunikasi material, formal, normatif, dan spiritual dalam segala level bentuk intensif dan ekstensifnya.

Mahasiswa D : Bagaimana kita tahu kalau jodoh ada di tangan Alloh?
Menurut protinus segalanya adalah kuasa Tuhan. Sehingga segala sesuatu adalah kuasa Tuhan termasuk jodoh adalah kuasa Tuhan.

Mahasiswa E : Bagaimana tradisi ketika orang meninggal?
Dalam filsafat ada pertanyaan yang harus dijawab meskipun ada jawabannya.

Mahasiswa F : Bagaimana jika kita hanya berpikir intensif saja?
Jika kita hanya berpikir intensif saja maka akibatnya kita hanya memperoleh separoh dunia karena separoh dunia yang lain adalah berpikir ekstensif. Namun jika kita hanya berpikir intensif saja tanpa melakukannya maka kita juaga hanya memperoleh separoh dunia karena separoh dunia yang lain adalah pengalaman.

Mahasiswa G : Bagaimana hubungan agama dengan budaya?
Agama menjelaskan hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya. Di dalam agama kita dapat menemukan adanya budaya. Budaya di sini dapat dipandang sebagai kebiasaan. Tata aturan yang berlaku di dalam agama akan dilaksanakan oleh pengikutnya sehingga menjadikan hal itu sebagai kebiasaan dan lama-lama membudaya. Begitulah agama dapat menciptakan budaya. Namun, tidak akan ada agama di dalam budaya seperti yang diinginkan oleh orang kafir yang berusaha mencari agama di dalam budaya.

Mahasiswa H : Bagaimana mengajak agar tidak menyontek?
Orang yang suka mencontek adalah orang yang penyakitan karena mencontek adalah penyakit. Sehingga seseorang yang sukanya mencontek normatifnya bermasalah, formalnya bermasalah, materialnya bermasalah, begitupun dengan spiritualnya bermasalah. Begitu juga dengan ada, mengada, dan pengadanya, ketika mengadanya plagiat maka ada, mengada, dan pengadanya bermasalah. Namun walaupun demikian, tindakan mencontek bukanlah hal yang mudah untuk ditinggal bagi beberapa orang. Parahnya ketika seseorang mengajak untuk tidak mencontek maka orang tersebut dianggap buruk bahkan dijauhi. Di sini si pengajak berniat baik tapi respon yang dia peroleh tidak selalu seperti yang diharapkan, sehingga di sini kita membutuhkan pertolongan Tuhan YME agar teman kita yang terbiasa mencontek diberi petunjuk sehingga akhirnya sadar kalau apa yang dia lakukan tidak baik dan dia mau memperbaiki diri.

Mahasiswa I : Bagaimana menghilangkan penilaian yang subjektif?
Salah satunya adalah dengan mengguanakn alat dan teknologi. Tetapi dalam pelaksanaannya kita harus mempertimbangkan apa yang akan dinilai, siapa yang dinilai dan menilai, karena itulah dunia penilaian. Sehingga dalam melakukan proses penilaian sudah mempertimbangkan kelemahan-kelemahan teknik penilaian yang kita gunakan.

Mahasiswa J : Bagaimna agar hidup kita lebih dekat dengan keberuntungan?
Untung tidaknya orang yang satu dengan orang yang lain itu tidak dapat disamakan. Beruntungnya seorang pejuang dengan beruntungnya filsuf itu berbeda, berbeda pula dengan beruntungnya manusia biasa. Yang membedakan perbedaan itu adalah ukurannya. Beruntung bagi seseorang belum tentu dianggap beruntung bagi orang lain, karena pada dasarnya kebutuhan orang yang satu dengan orang yang lainnya itu berbeda-beda, sehingga ukuran keberuntungn bagi tiap-tiap orang juga berbeda.

Mahasiswa K : apakah kita boleh bermitos?
Pada dasarnya kita selalu diikuti oleh mitos-mitos sehingga sebenarnya kita tidak dapat terlepas dari mitos, tapi tergantung pada kita apakah kita mampu terbebas dari mitos atau malah akan termakan oleh mitos-mitos kita sendiri. Seorang anak kecil yang belum mengetahui ilmu-ilmu yang ada dalam kehidupan kita maka bagi mereka ilmu-ilmu tersebut hanyalah mitos belaka. Tentunya karena mereka tidak tahu untuk apa ilmu tersebut ada, dan mereka hanya sekedar mengikuti saja. Sehingga bagi mereka ilmu itulah mitos-mitos mereka.

Rabu, 11 Mei 2011

Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika dengan Bp. Marsigit Melalui Tanya Jawab

1.Belajar filsafat kita belajar mempelajari hakikat, lalu siapa yang mempelajari hakikat filsafat?
Filsafat di dalamnya ada ontologi, aksiologi, dan epistemology. Maka mempelajari hakikat filsafat sama saja mempelajari ontologinya ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Selain itu juga mempelajari epistemologinya ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Serta mempelajari epistemologinya ontologi, aksiologi, dan epistemologi.
Ontologinya ontologi : hakikat dari hakikat
Ontologinya epistemologi : hakikatnya cara. Bagi orang jawa ritual yang biasa dilakukan oleh mereka sudah dibakukan, tidak ada benar tidak ada salah tetapi merupakan etik dan estetikanya epistemologi.
Ontologinya aksiologi : hakikatnya aksiologi
Epistemologinya ontologi : kalau mempelajari hakikat apa metodenya.
Epistemologinya epistemologi : kebenaran metode
Epistemologinya aksiologi : aksiologi bisa sebagai objek, nilai, atau hakikat. Mempelajari sumber-sumber aksiologi yaitu etik dan estetika.
Aksiologinya ontologi : value dari ontologi
Aksiologinya epistemologi : mengkritisi cara
Aksiologinya aksiologi : bicara tentang etik secara etik

2.Bagaimana cara mengajak shalat?
Mengajak shalat bukanlah hal yang mudah, karena mengajak shalat dimensinya sudah ada pada taraf dimensi spiritual. Dimensi komunikasi sendiri ada empat tingkatan, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi yaitu material, formal, normatif, dan spiritual. Orang yang mampu mengajak shlat dapat dianggap sebagai guru spiritual. Yang ditekankan di sini adalah mampukah guru spiritual mengajarkan sekaligus mengajar ? Tentunya karena fungsi guru spiritual tidak hanya memberitahu tetapi juga harus mampu mengajak. Di sini guru spiritual potensi dosanya besar jika dia tidak mampu mengajar

3.Bagaimana caranya agar hati mampu mengendalikan pikiran?
Agar hati mampu mengendalikan pikiran maka caranya adalah memperbaiki adab-adab beribadah seperti memperbaiki adab berwudhu, adab dalam shalat, berpuasa, dan ibadah yang lainnya. Mohon ampun dan memperbanyak dzikir juga merupakan cara yang mampu membersihkan hati kita sehingga debu-debu yang menempel padanya hilang, sehingga hati kita tidak tenggelam. Harapannya dalam melakukan apapun kita mempertimbangkan apa yang ada di hati kita.

4.Seberapa krusial peran filsafat bagi pembenahan Negara?
Filsafat adalah penjelasan, orang yang berfilsafat adalah orang yang mampu menjelaskan, termasuk menjelaskan carut marut bangsa. Orang berfilsafat mampu menjelaskan bahayanya pendidikan karakter. Karakter itu sifatnya dari siapa untuk siapa, dan tanpa kita sadari ternyata semua hal itu ada karakternya seperti karakter pencopet, karakter penjajah belanda, karakter seorang kakak terhadap adiknya, karakter orde lama, karakter orde baru, termasuk karakter guru tradisional. Bagi orang yang berfilsafat NII sedang membangun karakter, membangun kuasa. Orang yang berfilsafat mampu memikirkannya sehingga orang yang berfilsafat dapat lepas dari jeratan cuci otak.

5.Bagaimana memahami karakter siswa?
Memahami karakter siswa dapat dilakukan dengan cara berkomunikasi, maksudnya guru harus mampu menjalin komunikasi yang baik dengan siswanya karena dengan berkomunikasilah kiata dapat memahami karakter orang lain. Komunikasi antara siswa dengan guru dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti komunikasi pada saat pembelajaran berlangsung guru dapat melakukan tanya jawab, diskusi kelas dan sebagainya. Tentunya komunikasi antara guru dan siswa dapat dilakukan tidak hanya di dalam kelas yaitu pada saat pembelajaran berlangsung tetapi juga dapat menggunakan media yang tersedia seperti internet, contohnya pemanfaatan blog, facebook, email, dan lain-lain. Hal ini tentu sangat memudahkan komunikasi antar guru dan siswa, dan harapannya guru dapat memahami karakter siswa.

6.Fenomena dalang cilik apakah relevan ditonton oleh orang dewasa?
Wayang memuat aksiologi tetapi juga memuat epistemologi. Dalang cilik terbatas di ontologi, mungkin boleh dalam epistemologi dan aksiologi tetapi tidak dalam critical thinking karena hanya meniru kebiasaan orang dewasa. Sehingga dalam melakukannya dalang cilik tidak berdasarkan pengalaman. Hal ini menyebabkan dalang cilik hanyalah separoh dunia, sedang separoh dunia wayang yang lainnya adalah dalang dewasa yang berdasarkan pengalaman.

7.Bagaimana menghilangkan panik dan gugup?
Panik bias datang dari dalam hati dan dari dalam pikiran. Sekecil-kecilnya panik yang datangnya dari dalam hati adalah godaan syaitan, maka kita harus memperbanyak istighfar dan mohon ampun. Sebesar-besar panik yang datangnya dari dalam pikiran adalah bakal/calon ilmu pengetahuan, maka kita harus berdo’a dan berserah diri dengan khusyuk. Dengan kata lain agar panik dan gugup tidak menghantui hati dan pikiran kita maka kita harus mendekatkan diri kepada Tuhan YME dengan melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada-Nya.

8.Bagaimana hubungan filsafat dan sejarah?
Filsafat mencakup hal-hal yang sudah terjadi, yang sedang terjadi saat ini, dan hal-hal yang belum terjadi. Dengan berfilsafat kita dapat memikirkan hal-hal ruang dan waktu yang berbeda. Sedangkan pada sejarah hanya mencakup hal-hal yang sudah terjadi, membicarakan masa lampau dan kejadian-kejadian yang terjadi pada zaman dahulu kala. Sejarah tidak mencakup hal-hal yang sedang terjadi saat ini dan hal-hal yang mungkin terjadi. Terlihat bahwa filsafat cakupannya lebih luas dari pada sejarah, bahkan dapat dikatakan bahwa sejarah ada di dalam filsafat.

9.Apa filsafatnya gending jawa?
Gending jawa dipandang sebagai suatu harmoni. Salah satu harmoni adalah sadar akan ruang dan waktu. Gending jawa yang terdiri atas 50 instrumenmasing-masing berfungsi sendiri-sendiri tetapi antara yang satu dengan yang lainnya terhubung secara harmoni. Contohnya saja hubungan gendang dan gong, mereka mempunyai satu suara yang mirip dengan suara bedug. Jika kita pikirkan lebih lanjut, fenomena ini dapat kita artikan bahwa masing-masing dari gendang maupun gong tidak bersifat individual, mereka tidak ingin mencari kerasnya sendiri tetapi menyelaraskan dengan lingkungan seperti suara angin, burung, kupu-kupu, hujan, dan sebagainya. Itulah harmoni dari suara gong dan gendang, begitu pula dengan instrument yang lain saling menciptakan harmoni.

10.Bagaimana Syeh Siti Jenar bisa sampai menganggap dirinya sebagai Tuhan?
Pada saat beribadah kepada Tuhan dan kita telah mampu mencapai puncaknya, pada saat itu kita akan merasa menyatu dengan Tuhan. Bahayanya apabila kita tidak mampu mengendalikan pikiran kita dan menumbuhkan kesombongan. Syeh Siti Jenar temakan oleh kesombongannya sehingga dia menganggap bahwa dirinya adalah Tuhan.

11.Bagaiman kriteria orang yang bijaksana?
Orang berfilsafat untuk mencapai bijaksana, tetapi tidak ada seorangpun yang dapat mencapai bijaksana, kecuali para Nabi dan Rasul karena sesungguhnya yang maha bijaksana adalah Tuhan YME. Menurut filsafat barat orang bijaksana yang berfilsafat adalah orang yang berilmu, jadi menurut mereka orang yang mencari ilmu adalah orang yang bijaksana. Menurut filsafat timur orang bijaksana yang berfilsafat adalah orang berilmu, menerapkan ilmunya, punya rasa, karsa. Jadi menurut filsafat timur orang yang bijaksana adalah orang yang berusaha membagikan ilmunya kepada orang lain contohnya guru.

12.Bagaimana mengajarkan kepada siswa agar siswa dapat memahami materi?
Di dalam filsafat “mengajarkan” itu dianggap tidak benar. Guru bukan mengajar tetapi bagaimana agar siswa belajar. Sehingga guru harus mampu mendesain kegiatan belajar mengajar yang di dalamnya menuntut siswa untuk belajar.

13.Bagaimana agar siswa kreatif?
Syarat dasar agar siswa kreatif adalah merdeka. Merdeka di sini maksudnya siswa diberi kebebasan untuk berkreasi dan mengekspresikan kreativitasnya selama tidak melanggar peraturan yang ada. Selain merdeka siswa jugaperlu dikondisikan dan difasilitasi. Guru juga ditunutt untuk kreatif sehingga dapat memotifasi siswa untuk mekspresikan kreatifitas mereka. Namun fenomena yang terjadi di Indonesia adalah kalau mahasiswa takut kepada dosen akan menyebabkan mehasiswa tidak kreatif, tetapi kalau tidak takut kepada dosen dapat menyebabkan mahasiswa menjadi kurang ajar. Sehingga harapannya mahasiswa tidak takut kepada dosen tetapi bertanggungjawab.

14.Apakah filsafat selalu menjunjung kesopanan terhadap ruang dan waktu?
Filsafat memang menjunjung kesopanan terhadap ruang dan waktu tetapi bisa saja mengabaikan ruang dan waktu. Contohnya pada saat kita sedang kuliah kita mengabaikan ruang dan waktu di rumah. Dalam filsafat hal ini juga diperlukan karena sesungguhnya kita tidak dapat terhindar dari reduksi.

15.Hati dan pikiran apakah harus seimbang?
Dalam filsafat perssepktif segala sesuatu ada dimensinya. Begitu juga dengan hati, ada meterialnya hait, ada formalnya hati, normatifnya hati, dan spiritualnya hati. Begitu pula yang terjadi di dalam pikiran. Sehingga antara hati dan pikiran juga ada dimensinya. Dalam prakteknya dalam kehidupan sehari-hari ketika kita akan melakukan sesuatu kita harus memikirkannya dengan pikiran kita tetapi juga harus mempertimbangkan apa yang ada di hati kita agar apa yang kita lakukan bukan hal yang semata-mata dilakukan tanpa kesadaran.

Rabu, 27 April 2011

FILSAFAT MATEMATIKA DAN FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA (refleksi perkuliahan filsafat pendidikan matematika dengan Bp. Marsigit)

Fenomena yang terjadi pada peradaban manusia jaman dahulu kala adalah kebiasaan menggambar pemandangan alam yang di dalamnya tergambar 2 gunung dan di antara kedua gunung tersebut terdapat matahari terbit. Gambar yang demikian sangat populer di kala itu, sehingga hampir setiap siswa menggambar yang demikian ketika ada pelajaran menggambar. Hal ini menujukan kemonotonan yang terjadi di kalangan siswa. Hal demikian tentu dapat mematikan kreativitas siswa dalam berkarya. Jika dibiarkan saja maka kebiasaan menggambar yang demikian akan menjadi budaya yang turun temurun, sehingga bukan tidak mungkin setiap gambar pemandangan akan serupa satu dengan yang lainnya.
Berangkat dari hal tersebut orang yunani memikirkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita memerlukan abstraksi dan idealisasi sehingga nantinya dapat memunculkan suatu bukti, begitu pula dalam mempelajari matematika. Sedangkan bangsa transenden memikirkan apakah sesuatu bersifat tetap ataukah berubah. Sesuatu dikatakan tetap (permenides) karena ada di dalam pikiran manusia, sedangkan sedangkan referensi dari yang berubah (heraklitos) adalah fenomena, sehingga akhirnya tidak bias dipikirkan lagi dan menjadi noumena.
Fondamen yang dapat kita gunakan dalam memikirkan matematika adalah sistem, struktur, dan bangunan yang sudah ada dalam matematika. Jika dalam memikirkan matematika kita menentukan adanya awal maka kita termasuk dalam golongan kaum fondametalis, sedangkan jika kita dalam memikirkan matematika kita tidak menentukan adanya awal maka kita termasuk dalam golongan kaum intuitionism.
Matematika yang tunggal, dualis, multi, dan pluralis perlu dibedakan apakah absolut/tunggal sehingga dalam memikirkannya kita perlu berpikir ekstensif dan intensif.
Pada filsafat matematika kita menggunakan ontology, epistemology, dan aksiologi dalam memikirkannya, sehingga muncullah pemikiran matematika dengan meletakan dasar fondamentalis, formalis, aksiomatis (hilbert) dengan sifat rigor/apodictic, konsisten, tunggal, dan pasti. Matematika yang demikian itu semuanya dalam ranah pikiran manusia dan terbebas oleh ruang dan waktu. Dalam filsafat matematika ada sifat identitas, absolute, konsisten, tunggal, dan koheren (kebenaran berdasarkan logika). Tulang punggung dari matematika adalah matematikawan dari pure mathematics. Sehingga dari fenomena UN perlu adanya sos, seperti munculnya surat terbuka untuk presiden.
Di sisi lain dalam filsafat pendidikan matematika fenomena-fenomena yang terjadi pada jaman dahulu kala masih sering terjadi. Pada filsafat pendidikan matematika kita terikat oleh ruang dan waktu, serta adnya sifat kontradiktif, relative, plural, dan korespodensi (kebenaran berdasarkan kenyataan). Tulang punggung dari pendidikan matematika adalah kaum educationist. Yang ada di sini adalah kaum sosio contuctivist dan munculah pemikiran bahwa diperlukannya revolusi pendidikan.
Dari sisi relaistik RME mengungkap dimensi matematika dari bawah ke atas adalah benda konkret, skema, model, dan abstraksi/formal. Siswa SD/SMP berada pada dimensi benda konkret sehingga dalam memikirkan matematika mereka masih memerlukan benda konkret. Siswa SMP ada pada dimensi model, sedangkan mahasiswa berada pada dimensi abstrak/formal akan tetapi mahasiswa juga masih memerlukan benda konkret namun hanya sebagai perlengkapan.
Dari sisi hakikat, dalam memikirkan matematika kita harus meletakkan kesadaran kita di depan matematika. Contohnya saja adalah hakikat bilangan 2. Di dalam matematika bilangan 2 tidak punya arti apa-apa tetapi di dalam hakikat bilangan 2 mempunyai makna bukankah orang tua kita ada 2? Bukankah telinga kita ada 2? Di sini kita dapat menemukan hakikat bilangan 2, begitu juga dengan bilangan 3, bukankah becak rodanya 3? Lalu bagaiman dengan 2+3? Apakah ada maknanya? Dari sini akan muncul konsep membilang dan menghitung. Bilangan 2 dan bilangan 3 adalah potensi, 2+3 adalah proses, sedangkan 2+3=5 adalah hasil. Di sini menjumlahkan dipandang sebagai proses, sedangkan hasilnya adalah jumlah. Contoh yang lain adalah diferensial dan derivative, diferensial dipandang sebagai proses, sedangkan derivative sebagai hasilnya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa matematika dapat dipandang sebagai fakta/potensi proses atau hasil, atau juga sebagai proses dan hasil.
Dari sisi pelakunya, kita dapat memikirkan matematika dengan cara vertical atau horizontal melalui benda, symbol, dan variabel. Contohnya dalam mempelajari benda runag menurut ilmu jiwa Gestalt kita harus mempelajari secara umum dulu baru kemudian mempelajari secara detailnya. Dalam pembelajaran kita mempelajari skema kognisinya. Berkaitan dengan skema kognisi maka alat peraga adalah abstraknya.

Senin, 11 April 2011

FILSAFAT ADALAH PENJELASAN

(Refleksi perkuliahan filsafat dengan Bp. Marsigit)

Untuk menerjemahkan bumi seseorang perlu melakukan abstraksi, hal ini dikarenakan bumi bumi bergerak terhadap ruang dan waktu. Salah satu contoh hasil abstraksi tersebut adalah suatu titik. Jika ada suatu titik di pikiran kita maka titik adalah suatu objek pikiran. Tetapi, titik juga bisa berada di luar pikiran.
Jika dikaitkan dengan ruang dan waktu maka titik dapat menjadi potensi sekaligus fakta. Contohnya, sebuah titik dapat menjadi garis. Dalam hal ini maka titik adalah sebagai fakta, sedangkan garis adalah potensinya.

Jika diberi kesadaran maka titik akan memiliki makna. Contohnya, sebuah titik dapat mewakili bumi.
Jika diabstraksikan maka sebuah titik dapat menjadi bangun datar, garis, bola lingkaran, dan sebagainya.

Titik dapat menjadi spiral yang di dalamnya adalah dunia. Untuk dapat diterjemahkan, maka digunakan analogi menjadi bumi yang mengelilingi matahari. Tetapi ternyata itu semua masih ada di dalam pikiranku, maka dari sini kita tahu bahwa pikiran adalah separuh dunia, dan kenyataan adalah separuh dunia yang lain.
Di dalam pikiran kita kehidupan masyarakat dapat digambarkan menjadi suatu kurva normal. Pada kurva normal tersebut ada batas toleransi atau tanda keputusan. Sedangkan dalam kenyataannya masyarakat yang berada di daerah x=1 adalh orang yang bahagia hidupnya, sedangkan orang yang berada di sebelah kiri atau sebelah kanan batas toleransi adalah orang-orang yang bermasalah. Sehingga menurut orang jawa, orang orang yang bermasalah tersebut harus diruwat. Ruwatan yang bias dilakukan adalah seperti “nanggap wayang” dan “slametan”. Karena adanya anggapan seperti itu maka orang jawa cenderung mengikuti hal-hal yang umum dilakukan oleh orang lain.

Kejadian-kejadian seperti ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang memerlukan penjelasan. Di sini lah filsafat berperan utnuk member penjelasan, atau dengan kata lein filsafat menjelaskan hal-hal yang dianggap memerlukan penjelasan. Begitu juga dengan ruwatan, filsafat mampu menjelaskan tentang ruwatan.

Contoh kasus di sini adalah kebiasaan orang tua yang melarang anaknya berdiri atau duduk di depan pintu tanpa memberi alasan yang jelas. Kalaupun diberi penjelasan, alasannya kadang tidak masuk akal dan bahkan dianggap tidak logis. Hal ini juga perlu penjelasan, maka melalui berfikir intensif dan ekstensif maka filsafat di sini sangat dibuhkan untuk menjelaskan hal tersebut. Di sini pula filsafat berperan untuk mengubah mitos menjadi logos. Sehingga I.Kant membagi kategori pikiran menjadi 4 yaitu kualitatif, kuantitatif, relasi dan kategori. Kategori-kategori tersebut adalah bekal kita untuk memperoleh suatu pengetahuan dan sekaligus dalam berfilsafat.