Ada alasan kenapa di dalam elegi-eleginya Bp.Marsigit tidak menyebut gelar. Sebagai contohnya dia tidak pernah memanggil Almarhum Plato, atau Profesor Aristoteles, atau Doktor Rene Descartes, atau yang saya Hormati dan saya Berbakti Tuan David Hume, atau yang saya Patuhi Tuan Immanuel Kant. Melainkan dia cukup memanggilnya sebagai menurut Plato, atau pendapat Aristoteles, atau bantahan Rene Descartes, atau menurut David Hume atau Teori Immanuel Kant, begitu saja. Padahal mereka adalah para filsuf yang memiliki gelar dan tentunya menjadi inspirasi bagi dunia saat ini. Alasannya adalah karena para filsuf itu sendiri adalah filsafat, dan mereka bukanlah orang yang asing lagi bagi dunia, sehingga ketika ada orang yang membaca elegi-elegi tersebut orang tersebut sudah langsung paham, siapa tokoh yang dimaksud.
Bp.Marsigit juga menyampikan tentang kelancangan filsafatnya seperti yang ada di dalam eleginya. Lancang yang dimaksud adalah berani mengatakan benar dengan benar dan salah dengan salah. Contohnya ketika munculnya surat terbuka kepada presiden, beliau menyampaikan secara lugas pendapat dan kritikannya. Walaupun beliau tahu resiko yang harus ditanggung, mungkin pihak pemerintah menjadi tidak menyukainya. Tetapi buat apa berfilsafat kalau tidak untuk memikirkan hal yang penting terutama di dunia pendidikan, buat apa berfilsafat kalau tidak dapat berbicara, buat apa brfilsafat kalau tidak mampu berpikir kritis. Tentunya dalam berfilsafatpun kita harus tahu siapa lawan bicara kita, ketika berbicara tentang hakikat dengan orang yang dimensinya di bawah kita maka kita dapat dianggap tidak sopan, tetapi jika kita berbicara hakikat dengan orang yang dimensinya di atas kita maka bisa saja kita dianggap lancang. Oleh karena itu Bp Marsigit memohon maaf atas kelancangan filsafatnya.
Di dalam elegi-eleginya juga dibahas tentang kemarahan karena berfilsafat. Secara tersirat di dalamnya menyampaikan bahwa filsafatnya menyebabkan kemarahan karena tidak mampu menempatkan diri. Jika dimana-mana berfilsafat, tentunya dapat menimbulkan kemarahan, karena seharusnya dalam berfilsafat kita mampu menempatkan diri, mampu menentukan dimana saatnya kita berfilsafat, mempu menentukan pada siapa kita berbicara filsafat. Jika pada semua orang kita berfilsafat tentu kita bisa menyebabkan kemarahan orang lain bahkan bisa dianggap kurang waras. Sehingga dapat berfilsafat kita harus menempatkan diri.
Berkaitan dengan arogansi dalam berfilsafat, dapat dipahami ketika kita berfilsafat tetapi tidak sesuai dengan porsinya maka di sanalah titik kesombongan/arogansi kita. Sehingga agar kita dapat berfilsafat sesuai dengan posinya maka kita harus melakukan perjuangan. Dalam melakukan perjuanganpun pasti ada dampak dan resikonya, sehingga kita perlu mengelola resiko, harapan, dan tantangan kita dalam berfilsafat dengan baik. Kita dapat mengelolanya secara psikologi.
Berfilsafat itu berpikir kritis, ketika kita mampu berpikir kritisa maka kita mampu memikirkan hal-hal secara lebih dalam (berpikir intensif). Sehingga ketika kita memikirkan tentang Standar Isi dalam kurikulum kita, timbulah rasa tidak nyaman, bahkan dengan istilah “standar isi” saja sudah tidak nyaman karena seolah-olah itu adalah produk yang bersifat statis. Padahal objek matematika itu dinamis, lalu bagaimana jika standar isinya saja bersifat statis? Tentu saja tidak cocok, bagaimana matematika bisa berkembang jika dalam pembelajarannya saja sudah dibatasi oleh standar isi? Ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan baik bagi siswa maupun bagi matematika itu sendiri karena Standar Isi tidak sesuai dengan hakikat matematika sekolah dan psikologi belajar siswa. Sehingga akan lebih nyaman dengan “Trajectory of teaching learning mathematics” dan “Strength of mathematics education ”, karena di sana sangat menjunjung hakikat matematika sekolah dan psikologi belajar siswa dan bersifat dinamis sesuai dengan objek matematika.
Dalam belajar filsafat kita akan mengenal transformasi dunia. Transformasi dunia dapat dilakukan sesuai dengan dimensi komunikasi yaitu material, formal, normatif, dan spiritual. Pada dimensi material kita akan tahu kalau manusia selalu mengalami tetap dan berubah. Apa bisa kita tidak mengalami gerakan apapun ? Jelas tidak bisa, itulah yang kita maksud dengan berubah. Dari lahir sampai sekarang saya tetaplah manusia, itulah yang dimaksud dengan tetap. Begitu juga manusia bergerak-gerak antara pelit dan bermawan, kaya dan miskin. Kaya bisa kita sebutkan bahwa banyak uang tetapi tidak punya program, sedangkan miskin dapat kita sebutkan sedikit uang tetapi banyak program.
Manusia juga selalu mengalami gelombang naik turun dalam kehidupan. Contohnya saja dalam beribadah. Suatu saat kita akan berada pada tingkatan atas dimana kita sangat rajin dan khusukdalam beribadah tetapi juga suatau saat kita mengalami penurunan dalam beribadah, shalat hanya sekedar kebiasaan saja, ibadah sunah yang lain tidak dilaksanakan, dan sebagainya. Naik turun kehidupan seseorang berubah-ubah tergantung lingkungannya. Teman bermain, tingkat pendidikan, keadaan social, itu juga berpengaruh terhadap naik turun kehidupan manusia.
Penerapannya dalam matematika, adalah misalnya kita menulis persamaan ax2 + bx + c = 0 maka di sini ada intuisi dua dalam satu, artinya ketika kita menulis bx maka kita lebih mementingkan bx tetapi kita masih mengingat ax2. Ketika menulis c kita fokus ke c tetapi tetap menginga ax2+bx. Begitu pula saat kita menulis = 0 kita akan mengingat ax2 + bx + c. di sini tampak bahwa ada sesuatu yang berjalan. Tentunya ini hanya konsumsi orang dewasa saja. Seperti halnya dengan A/~=0. Tak hingga maksudnya memohon maaf terus menerus kepada Allah SWT. Permohonan terus menerus tentunya belum cukup sehingga harus ikhlas, diibaratkan dengan x=1. Keikhlasan kita diibaratkan dengan 0 sedangkan keesaan Tuhan diibaratkan dengan 1. Akan tetapi hal ini kalau berlebihan berbahaya , apalagi kalau mempunyai pengikutdan menjadi mitos lalu dibukukan, maka orang dapat menganggapnya sebagai kitab suci. Sehingga kita perlu memperhatika jarak antara pikiran dengan hati, normative dengan spiritual.
Selain itu kita dapat melihat dari benda ruang, ini hubungannya dengan idealisme dan abstraksi. Untuk mengembangkan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika semua ada filsafatnya. Kegiatan seperti menyusun RPP, LKS, metode pembelajaran, dan sebagainya semua ada filsafatnya. Sehingga kembali pada diri kita masing-masing seberapa jauh mampu mengembangkan perspektif filsafat untuk pembelajaran matematika.
Dalam pembelajaran matematika, siswa adalah yang ada, siswa yang mengada, dan siswa sebagai pengada. Sehingga siswa belajar matematika adalah sebagai seprang researcher atau peneliti matematika. Siswa sebagai subjek bisa mentrasformasi dunia, sontohnya siswa dapat mengerjakan mengerjakan soal satu ke soal yang lain, dari rumus satu ke rumus yang lain. Paradigma yang menunjang adalah kontruktivis dimana siswa dapat mengembangkan sendiri matematatikanya, dan diperolehlah siswa adalah matematika. Sehingga kita dapat menemukan bahwa setinggi-setinggi filsafat belajar matematika adalah jika sampai pada keadaan dimana pada akhirnya siswa itu sendirilah matematika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar